Tiga bulan lamanya Naila sudah tidur di rumah sakit menemani sahabatnya Raya yang dalam kondisi koma. Nail tak pernah tau apa sebabnya sampai sahabat baiknya ini menelan obat tidur dengan jumlah berlebihan. Saat itu Naila sedang keluar cukup lama dan ketika pulang dia menemukan sahabatnya di tempat tidur dengan kondisi mulut berbusa.
“Ra, Apa yang terjadi dengan kamu sebenarnya? Mengapa kamu melakukan hal buruk ini?” Tanya Naila ke Ra yang masih terbaring di tempat tidur. Nail memegang tangan Ra dengan wajah yang penuh kesedihan.
“Please banguuun, Ra. Aku kesepian di rumah sendirian.” Lirih Nail lagi.” Tanpa sadar air matanya menetes kembali.
Tangan Ra bergerak.
“Ra..! Nail menggenggam tangan Ra lebih erat lagi. Perlahan mata Ra terbuka, perlahan dan semakin lama semakin lebar. Dia melihat ke Naila yang tersenyum, tapi dengan air mata yang masih menetes di pipi. Naila berlari kelur memeanggil dokter. Setelah di periksa, dokter tersebut tersenyum.
“Akhirnya kamu bangun juga, Raya.” Kata Dokter tersebut sambil memerika denyut nadi Ra sekali lagi.
Dokter tersebut meminta Naila memanggil kedua orang tua Ra lalu keluar meninggalkan Naila yang kembali duduk di samping ranjang.
“Aku di mana, Nail?” Suara Ra terdengar pelan sekali.
“Kamu di Rumah Sakit, Ra. Orang tuamu sebentar lagi datang, tadi mereka pulang sebentar untuk sekedar berganti pakaian dan mengambil pakaian ganti buat kamu.” Naila masih tetap memegang tangan Ra.
“Mengapa aku bisa di sini, Nail? Tadi aku di toko bunganya Betra, tapi entah mengapa Betra hari ini aneh sekali, tidak biasanya dia seperti itu. Dia menyuruhku pulang. Dia bilang, sudah waktunya aku pulang ke rumah.” Ra bercerita dengan suara terbata-bata dengan air mata mulai menetes keluar.
“Iya, Ra. Kamu memang harus pulang. Tempat kamu bukan di sana. Tapi di sini, di dunia ini. Kamu sudah cukup lama di sana. Kami semua di sini sangat merindukan kamu selama tiga bulan ini.” Naila menjawab dan berusaha tersenyum.
Dua minggu kemudian Raya di izinkan oleh dokter untuk pulang, hanya memerlukan check up rutin saja. Selebihnya tidak ada gangguan kesehatan lain yang dialami Raya. Dokter hanya menyarankan untuk konsultasi ke psikiater setelah mendengar cerita dari Naila.
“Itu bukan berarti anak Bapak dan Ibu mengalami ganggan kejiwaan. Hanya saja setelah mendengar cerita dari Naila sahabatnya Raya. Ada sesuatu di sana. Saya tak berani bicara banyak karena ini bukan tempatnya saya untuk bicara.” Panjang lebar dokter tersebut bicara. Naila dan kedua orang tua Raya hanya bisa mendengarkan dengan wajah yang sedih.
“Raya sayang, Hari ini kita pulang ke rumah ya?” Mama Ra berusaha untuk tersenyum.
“Oya? Wah… senang sekali bisa pulang. Rasanya membosankan berada di rumah sakit ini, Ma.” Raya tampak bahagia mendengar kabar bahwa dia sudah boleh pulang.
Kedua orang tua Raya akhirnya memutuskan membawa Raya untu menemui Psikiater kenalan mereka. Raya sempat menolak, tapi pada akhirnya menerima setelah di bujuk oleh Naila.
“Ra, Kamu harus berobat? Tapi itu bukan berarti kamu gila, tidak.” Hanya saja kamu sendiri pasti sadar apa terjadi dan apa yang sudah kamu alami selama ini, Bukan?” Naila mencoba berbicara perlahan dengan sahabat baiknya ini.
“Aku tidak gila, Nail.” Jawab Raya.
“Tidak ada yang bilang kamu gila, Ra!” Naila memotong cepat.
“Aku hanya mengajak kamu berpikir dengan jernih lagi, apa yang kamu alami sebelum kamu koma dan kemana kamu pergi selama ini bukankah itu sesuatu yang aneh? Coba kamu pikir, bukankan itu artinya ada yang salah?” Kamu pikir Betra benar-benar ada. Dia nggak ada, Ra!” Naila memeluk Raya yang meneteskan air mata.
“Yang pasti sosok itu ada, Nail.” Lirih suara Ra dan Naila hanya berharap yang terbaik buat sahabatnya.
Satu hal yang Naila tau dari dokter adalah Ra membutuhkan orang-orang terdekatnya saat ini. Bisa saja apa yang terjadi terhadap Ra adalah gangguan psikis, karena Ra yang selalu merasa kesepian jauh dari kedua orang tuanya dan merasa tidak ada yang benar-benar benar bisa membuatnya nyaman dan berarti dengan keberadaannya.
“Entahlah, semoga saja Ra kembali sehat seperti sediakala.” Doa Naila dalam hati.
“Ra, Apa yang terjadi dengan kamu sebenarnya? Mengapa kamu melakukan hal buruk ini?” Tanya Naila ke Ra yang masih terbaring di tempat tidur. Nail memegang tangan Ra dengan wajah yang penuh kesedihan.
“Please banguuun, Ra. Aku kesepian di rumah sendirian.” Lirih Nail lagi.” Tanpa sadar air matanya menetes kembali.
Tangan Ra bergerak.
“Ra..! Nail menggenggam tangan Ra lebih erat lagi. Perlahan mata Ra terbuka, perlahan dan semakin lama semakin lebar. Dia melihat ke Naila yang tersenyum, tapi dengan air mata yang masih menetes di pipi. Naila berlari kelur memeanggil dokter. Setelah di periksa, dokter tersebut tersenyum.
“Akhirnya kamu bangun juga, Raya.” Kata Dokter tersebut sambil memerika denyut nadi Ra sekali lagi.
Dokter tersebut meminta Naila memanggil kedua orang tua Ra lalu keluar meninggalkan Naila yang kembali duduk di samping ranjang.
“Aku di mana, Nail?” Suara Ra terdengar pelan sekali.
“Kamu di Rumah Sakit, Ra. Orang tuamu sebentar lagi datang, tadi mereka pulang sebentar untuk sekedar berganti pakaian dan mengambil pakaian ganti buat kamu.” Naila masih tetap memegang tangan Ra.
“Mengapa aku bisa di sini, Nail? Tadi aku di toko bunganya Betra, tapi entah mengapa Betra hari ini aneh sekali, tidak biasanya dia seperti itu. Dia menyuruhku pulang. Dia bilang, sudah waktunya aku pulang ke rumah.” Ra bercerita dengan suara terbata-bata dengan air mata mulai menetes keluar.
“Iya, Ra. Kamu memang harus pulang. Tempat kamu bukan di sana. Tapi di sini, di dunia ini. Kamu sudah cukup lama di sana. Kami semua di sini sangat merindukan kamu selama tiga bulan ini.” Naila menjawab dan berusaha tersenyum.
***
Dua minggu kemudian Raya di izinkan oleh dokter untuk pulang, hanya memerlukan check up rutin saja. Selebihnya tidak ada gangguan kesehatan lain yang dialami Raya. Dokter hanya menyarankan untuk konsultasi ke psikiater setelah mendengar cerita dari Naila.
“Itu bukan berarti anak Bapak dan Ibu mengalami ganggan kejiwaan. Hanya saja setelah mendengar cerita dari Naila sahabatnya Raya. Ada sesuatu di sana. Saya tak berani bicara banyak karena ini bukan tempatnya saya untuk bicara.” Panjang lebar dokter tersebut bicara. Naila dan kedua orang tua Raya hanya bisa mendengarkan dengan wajah yang sedih.
“Raya sayang, Hari ini kita pulang ke rumah ya?” Mama Ra berusaha untuk tersenyum.
“Oya? Wah… senang sekali bisa pulang. Rasanya membosankan berada di rumah sakit ini, Ma.” Raya tampak bahagia mendengar kabar bahwa dia sudah boleh pulang.
Kedua orang tua Raya akhirnya memutuskan membawa Raya untu menemui Psikiater kenalan mereka. Raya sempat menolak, tapi pada akhirnya menerima setelah di bujuk oleh Naila.
“Ra, Kamu harus berobat? Tapi itu bukan berarti kamu gila, tidak.” Hanya saja kamu sendiri pasti sadar apa terjadi dan apa yang sudah kamu alami selama ini, Bukan?” Naila mencoba berbicara perlahan dengan sahabat baiknya ini.
“Aku tidak gila, Nail.” Jawab Raya.
“Tidak ada yang bilang kamu gila, Ra!” Naila memotong cepat.
“Aku hanya mengajak kamu berpikir dengan jernih lagi, apa yang kamu alami sebelum kamu koma dan kemana kamu pergi selama ini bukankah itu sesuatu yang aneh? Coba kamu pikir, bukankan itu artinya ada yang salah?” Kamu pikir Betra benar-benar ada. Dia nggak ada, Ra!” Naila memeluk Raya yang meneteskan air mata.
“Yang pasti sosok itu ada, Nail.” Lirih suara Ra dan Naila hanya berharap yang terbaik buat sahabatnya.
Satu hal yang Naila tau dari dokter adalah Ra membutuhkan orang-orang terdekatnya saat ini. Bisa saja apa yang terjadi terhadap Ra adalah gangguan psikis, karena Ra yang selalu merasa kesepian jauh dari kedua orang tuanya dan merasa tidak ada yang benar-benar benar bisa membuatnya nyaman dan berarti dengan keberadaannya.
“Entahlah, semoga saja Ra kembali sehat seperti sediakala.” Doa Naila dalam hati.
The End
Tag :
CERBUNG
2 Komentar untuk "Sosok Itu Ada, It's In Ra Dream (The End) "
Keren mbak ceritanya saya bookmark dulu ya..
Ini sangat menarik